kudeta "ketika rezim otoriter tumbang"
Ketika otoriter tumbang atau sistem pemerintahan yang kacau inilah masa transisi yang mana akan terjadi kekacauan demokrasi. Dimana warga Negara menginginkan bentuk dari reformasi yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Namun jika sistem demokrasi tidak datang maka dibutuhkan konsolodasi agar para bandit-bandit tidak merajalela dan kekacauan berakhir. Maksudnya tidak terjadi kudeta terhadap pemerintahan.
Masa pra transisi ditandai dengan tumbuhnya ide ide dan gerakan pendukung demokrasi yang melawan rezim otoritarian akibat semakin menguatnya desakan demokratisasi dari masyarakat. Arus utama teoritisasi transisi menuju demokrasi dimulai pada dekade 1980-an. Secara mencolok dibangun atas dasar runtuhnya rezim otoritarian-totalitarian yang tumbuh di kawasan Eropa Selatan dan Amerika Latin. Berbagai karya perintis terutama buah karya suntingan Guillerno O ‘Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, sering menjadi pusat rujukan bagi studi demokrasi, tetapi tidak punya kekuatan komparatif untuk menjelaskan gelombang tansisi demokrasi yang problematik dari rezim neopatrimonial yang eksis di berbagai negara seperti Filipina, Zaire, Haiti, Rusia dan juga Indonesia.
Transisi dari rezim otoriter dimulai dari perpaduan antara perpecahan elite maupun bangkitnya masyarakat sipil dan opoisi yang memungkinkan transisi berjalan. Transformasi dari atas atau lewat negosiasi (transplacement)antara kubu garis keras dan kubu garis lunak yang beraliansi dengan barisan oposisi dan masyarakat sipil. Permulaan jalur-jalur negosiasi itulah yang membuahkan transisi yang mulus dan sempurna dari rezim otorirer korporatif sehingga sangat mempermudah tugas-tugas konsolidasi demokrasi berikutnya.
Menurut Samuel Huntington (1991:44), demokratisasi pada tingkatan yang sederhana mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter, (2) dibangunnya sebuah rezim demokrasi, (3) konsolidasi. Jika mengikuti Robert A. Dahl (1991:54), demokratisasi berarti Proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang tidak memberi kesempatan pada partisipasi dan liberalisasi menuju poliarki yang memberi derajat kesempatan partisipasi dan liberasasi Usasi yang lebih tinggi. Transisi demokrasi pada suatu negara menurut Lipset (1963).
Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga (O’Donnell & Philippe Schimitter, 1986). Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan uiberikannya ruang kebebasan pers.
Setelah transisi yaitu konsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses negosiasi. Pada fase ini partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap kader-kadernva; medi massa, asosiasi-asosiasi perdagangan; lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri terlepas pada pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Pada tahap ini sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan pada dua front sekaligus. Di satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-demokratis yang mungkin tidak pernah mau mengalah. Di pihak lain adalah perjuangan menampung unsur-unsur yang bersifat memecah belah dari sistem politik itu sendiri. Jadi penentuan baik buruknya sistem yang berjalan sesuai dengan yang pihak mana yang menang atau mendominasi.
Minimal ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi yang sedang berjalan, yaitu pemilihan umum yang bebas dan adil, pemerintahan yang bertanggung jawab, hak-hak politis dan sipil , dan suatu masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani (Beetham & Boyle, 1995: 57-58).